HALUANKALBAR.COM - Anggota DPR RI dari fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, menegaskan sikap partainya yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2022 terkait Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU).
Namun, saat Hinca menyampaikan pandangannya, pengeras suara sempat dimatikan.
Padahal, sebagai wakil rakyat, Hinca berhak untuk menyampaikan pandangannya secara bebas dan tanpa tekanan dari pihak manapun.
Tindakan mematikan pengeras suara tersebut, dinilai sebagai upaya membatasi hak anggota DPR dalam menyampaikan pendapat.
Menurut dia, RUU ini harus dibahas secara matang karena UU Cipta Kerja mencakup peraturan-peraturan seperti investasi, ketenagakerjaan, hingga pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam interupsi ini, pimpinan sidang melalui Ketua DPR Puan Maharani hanya memberikan waktu limat menit kepada Hinca untuk menyampaikan pandangan. Tapi belum sampai lima menit, mikrofon Hinca mati.
‘’Itu tidak masalah, mau dimatiin mic-nya atau tidak kami tetap bersuara. Ingat ya, Pasal 164 ayat (1) huruf b Tatib DPR bunyinya bahwa dalam pengambilan keputusan tingkat dua, fraksi dapat memberikan pernyataan persetujuan atau penolakan secara lisan. Itu pegangan kita menyampaikan pandangan,’’ tutur Hinca Pandjaitan, dikutip HaluanKalbar.com dari laman resmi Demokrat, Kamis, 23 Maret 2023.
Bagi Demokrat, ini merupakan bentuk konsistensi sikap sejak menyampaikan pandangan serupa pada Paripurna 2020.
Saat itu, FPD juga walk out dari ruang sidang sebagai bentuk penolakan atas disetujuinya RUU Cipta Kerja yang dianggap bukan hanya cacat secara formil, tetapi juga materil.
‘’Waktu itu kami tolak karena UU Cipta Kerja dibuat tergesa-gesa, tidak ada kegentingan yang membuatnya harus dibuat tergesa-gesa. Undang-undang ini juga berpotensi memberangus hak-hak buruh, prinsip keadilan di dalamnya juga harus dipertanyakan, dan proses pembahasannya kurang transparan dan akuntabel,’’ ujarnya.
Demokrat juga kemudian memberikan catatan khusus mengenai Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ini.
Pertama, keluarnya Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dinilai tidak sesuai dengan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menghendaki pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya.
Sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi.
‘’Tidak tampak perbedaan signifikan antara isi Perppu ini dengan materi UU sebelumnya. Artinya, keluarnya Perppu Cipta Kerja ini adalah kelanjutan dari proses legislasi yang tidak aspiratif dan tidak partisipatif. Sehingga, esensi demokrasi diacuhkan. Hukum dibentuk untuk melayani kepentingan rakyat, bukan untuk melayani kepentingan elite,’’ kata Hinca.
Dalam konteks ini, Hinca Pandjaitan menyerukan kepada seluruh anggota DPR untuk mengkaji kembali regulasi tersebut secara seksama.
Agar dapat memperbaiki dan memperkuat regulasi terkait investasi, ketenagakerjaan, dan pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan kepentingan rakyat.***
Artikel Terkait
DPR RI Sahkan RUU Perppu Cipta Kerja Menjadi UU di Rapat Paripurna
Rapat Paripurna DPR RI Berjalan dengan Lancar Meski Diwarnai Penolakan atas Pengesahan RUU Perppu Cipta Kerja
Protes Perppu Cipta Kerja , BEM UI beri Kritik : Kami Tidak Butuh Dewan Perampok Rakyat